Nasib Perlindungan Hutan Pada Pemerintah Kabupaten/Kota Pasca UU No. 23 Tahun 2014.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan telah terbit dan berlaku semenjak
ditetapkan. Ini berarti UU tersebut telah efektif semenjak tanggal diundangkan
tanggal 06 Agustus 2013 dan tercatat pada lembar negara tahun 2013 nomor 130.
Undang-undang ini mengamanatkan Perlindungan hutan dilakukan oleh pemerintah,
baik pemerintah pusat dan daerah (pasal 5 UU 18/2013) pemerintah daerah dalam
UU ini disebutkan secara jelas yaitu Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota (Pasal 1 angka
24 UU 18/2013). Hal ini menimbulkan kewajiban pelaksanaan perlindungan hutan
pada semua sektor pemerintahan.
Tanggung bersama perlindungan hutan bukan hanya
milik pemerintah saja, masyarakat juga mempunyai kewajiban atas terlaksananaya
perlindungan hutan yang menyebabkan kerusakan hutan (pasal 56,58,59,60,61 UU
18/2013).
Undang-undang ini menegaskan secara jelas perihal
kekhususan dan kespesialisan dalam pemberantasan perusakan hutan, yang mana
kita ketahui bahwa kerusakan hutan telah sangat masiv di Indonesia. Adanya UU
ini menjadi win-win solution atas maraknya aksi perusakan hutan baik yang
dialkukan secara perorangan maupun koorporasi.
Pada tanggal 30 September 2014 pemerintah RI
menerbitkan UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang tercatat pada
lembar negara tahun 2014 nomor 244 tanggal 02 oktober 2014. Judice Fictie atas
suatu aturan, jika mana telah diundangkan dan tercatat pada lembar negara maka
aturan tersebut dinyatakan berlaku terkecuali diatur lain dalam undang-undanag
tersebut.
Menariknya UU No. 23/2014 ini pada pasal 14
berbunyi "Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang kehutanan, kelautan,
serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah
provinsi" dan tidak menyebutkan Kabupaten/Kota.
Matrik lampiran halaman 116 pembagian urusan
pemerintahan dibidang kehutanan menghilangkan kegiatan perlindungan hutan di
tingkat kabupaten/kota.
hal ini jelas bertentangan dengan semangat UU No.
41/1999 tentang Kehutanan dan UU No. 18/2013 Tentang Perncegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan yang mana masih melibatkan unsur pemerintah daerah dalam hal
ini kabupaten/kota bahkan masyarakat baik dalam bentuk perorangan maupun
lembaga swadaya.
Jika mengacu kepada UU No. 23/2014, maka tidak
adalah lagi perangkat perlindungan didaerah kabupaten/kota, urusan perlindungan
hutan baik didalam hutan produksi dan lindung atapun fungsi lainnya diserahkan
kepada pemerintah provinsi selaku pemegang urusan kehutanan di daerah.
Perubahan nomenklatur susunan SKPD di
Kabupaten/Kota haruslah mengacu kepada UU ini, dikarenakan UU ini mengatur
ssecara generalis atas urusan pemerintahan daerah.
Asas hukum lex speciali derogat legi generali
yang artinya peraturan yang bersifat khusus dikesampingkan oleh peraturan yang
bersifat khusus jika pembuatnya sama. Maksud dari asas ini adalah bahwa
terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-undang yang menyebut
peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula diperlakukan
undang-undang yang menyebut peristiwa yang lebih luas atau lebih umum yang
dapat juga mencakup peristiwa khusus tersebut (Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto. Perundang-undangan Dan
Yurisprudensi)
Sebagai contoh Undang-undang Kehutanan dan
Undang-undang P3H (dalam posisi Lex specialis), kesemuanya mempunyai materi
hukum pidana materiil dan hukum pidana formil) yang berbeda dengan apa yang
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (legi generali).
Lalu apakah kita dapat mengatakan bahwa UU No 23
Th 2014 tentang Pemda hanya mengatur perihal umum (legi genarali)? Dan jika hal
tersebut menyangkut masalah illegal loging, perusakan hutan dan illegal area
kita menggunakan UU No. 18 Th 2013 dan UU No. 41 Th 1999. Pertayaannya bagaimana
posisi Polisi Kehutanan dan PPNS Kehutanan jika dalam hal demikian? Polisi
Kehutanan dan PPNS Kehutanan yang berada di Dinas Kabupaten merupakan satuan
dan perangkat dari Kabupaten tersebut, yang dalam kedudukan hukumnya berada
dibawah Bupati selalu pejabat TUN atas kedudukan pegawainya. Polisi Kehutanan
dan PPNS Kehutanan menurut UU-nya dapat melakukukan upaya hukum sesuai dengan
kewenangannya dengan menggunakan nama Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten,
dan jika di Kabupaten tersebut tidak diberikan kewenangan melakukan urusan
kehutanan lalu apakah kedudukan Polisi Kehutanan dan PPNS Kehutanan yang
melaksanakan perlindungan hutan dianggap illegal?
Apakah Polisi Kehutanan dan PPNS Kehutanan harus
ditarik semua ke Pemerintah Provinsi dan kembali ke daerah Kabupaten dalam
status dipekerjakan (dpk) atau diperbantukan (dpb) atau lebih trend dalam dunia
pengamanan adalah BKO (bawah Kendali Operasi) agar segala tindakan sah demi
hukum? Dimanakah kepastian hukum atas upaya perlindungan hutan di daerah
Kabupaten/Kota?
Bagaimana Kehutanan di Kabupaten menyikapi hal
tersebut? Apakah UU ini bisa dibatalkan? siapakah yang berhak melakukan uji
materiil, ataukah siapa yang dapat memberikan pendapat yang dapat dipergunakan
sebagai acuan bagi para aparatur pemerintah dan investor dalam melaksanakan
peraturan perundang-undangan tersebut. Mahkamah Agung tidak mempunyai
kewenangan, karena MA hanya berwenang untuk menguji materiil peraturan di bawah
undang-undang. Sedangkan Mahkamah Konstitusi juga tidak berwenang untuk
melakukan uji materiil karena kewenangan MK hanya untuk menguji materiil
Undang-Undang yang bertentangan dengan Konstitusi (Vertical Judicial Review).
Apakah Undang-undang tersebut harus diamandemen lagi, dirubah lagi?
Perlu kajian mendalam atas pertentangan dalam
kedua UU ini, sehingga hak-hak Negara dan masyarakat atas hutan dapat
terpenuhi.
- mhd -
Komentar